Minggu, 21 November 2010

Gempa yang Mengintai Jakarta

Gempa yang Mengintai Jakarta
Dikepung sesar aktif di Selat Sunda dan patahan lain di Jawa Barat, Jakarta rawan gempa.


VIVAnews - Masih lekat dalam ingatan Safarudin, saat Jakarta diguncang gempa tahun lalu. Rabu, 2 September 2009, pukul  14.55 wib, tukang ojek 27 tahun yang biasa mangkal di dekat Wisma Nusantara itu terhenyak, ketika bumi yang dipijaknya bergoyang keras.
“Kreeek…kreeek,” bunyi itu terdengar dari atas, begitu keras di tengah deru kendaraan yang lalu-lalang di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, yang mulai memadat. Safar menengadah ke langit, gedung-gedung jangkung di sekelilingnya terlihat berayun-ayun seolah-olah hendak rubuh menimpanya.
Belum selesai ia mencerna apa yang tengah terjadi, sekonyong-konyong orang-orang dari dalam gedung Wisma Nusantara terbirit-birit berhamburan keluar gedung. “Gempa… gempa..” Tanpa pikir panjang lagi, Safar melompat ke motornya. Ia pacu gas sekencang-kencangnya menyusuri Jl Sutan Syahrir, menjauh dari rimba pencakar langit di pusat kota itu.

Tak jauh dari situ, Sianto Wongjoyo, salah seorang Manajer di Dell Indonesia masih ‘terperangkap’ di kantornya yang berada lantai atas Menara BCA Grand Indonesia Jakarta. Kantor Dell yang baru setahun pindah ke gedung itu, memang terletak lumayan tinggi, yakni di Lantai 48 dari 57 lantai yang ada.
Saat kantornya mulai bergoyang, Sianto tengah rapat. Biasanya ia tak terlalu sensitif terhadap gempa. Namun kali itu guncangan gempa cukup besar untuk menyadarkannya. Lantai bergoyang, kaca-kaca kantor bergetar, dinding-dinding berderak. “Kali ini harus saya akui, benar-benar hebat guncangannya,” Sianto menggambarkan. 
Dengan sigap, petugas keamanan memandu para karyawan berkumpul di lorong lift. Dalam hati, Sianto tak lepas berdoa. Menunggu cemas, hingga akhirnya gempa berhenti. Sesaat kemudian, semua dievakuasi keluar gedung, menyusuri anak tangga satu persatu. Jarak 48 lantai memang cukup membuat lutut sedikit linu. “Lumayan capek sih.” Di bawah, ribuan pengunjung dan karyawan yang berkantor di Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Wisma Nusantara, Hotel Nikko, sudah menyemut.
Jangan lupa, Jakarta juga masih punya sekitar 1400 gedung tinggi lainnya. Praktis, aktivitas perkantoran di banyak tempat di Jakarta lumpuh sesaat. Padahal, episentrum gempa saat itu berada di perairan selatan Jawa antara Sukabumi dan Bandung, atau tepatnya di koordinat 7,809 derajat Lintang Selatan dan 107,259 derajat Bujur Timur.
Di Jawa Barat Gempa berkekuatan 7,3 SR itu merenggut setidaknya 79 nyawa, 21 korban hilang, 63.717 rumah rusak berat, dengan perkiraan kerugian lebih dari Rp 300 miliar. Sementara di Jakarta, tak ada korban jiwa dan kerusakan yang berarti. Hanya saja, beberapa gedung mengalami keretakan di sana sini. Setidaknya peristiwa itu mengingatkan semua bahwa Jakarta bukan tempat aman dari ancaman gempa.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Profesor Riset Hery Harjono, secara umum wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia muda. Lapisan paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari lempung dan lempung pasiran yang berasal dari endapan pantai dan endapan akibat banjir yang berasal dari periode holosen akhir (berusia sekitar 12 ribu tahun).
Kemudian, di bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal dari pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun).  Di bawahnya terdapat endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar 2.588 juta tahun). Di bagian paling bawah terdapat batuan berumur tersier (1,8 juta - 6,5 juta tahun).
Ir Engkon K Kertapati, peneliti pada Pusat Survei Geologi – Badan Geologi, mengatakan bahwa Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah dan rentan terhadap guncangan gempa. Secara geologi, Jakarta terbagi dua wilayah; Jakarta bagian utara di mana permukaan tanahnya merupakan tanah lunak berusia holosen, dan Jakarta bagian selatan yang lapisan tanahnya relatif lebih padat dan berusia lebih tua (pleistosen).
Bila gempa kuat terjadi, wilayah Jakarta utara paling rawan mengalami proses likuifaksi alias amblasnya permukaan tanah karena perubahan sifat tanah dari padat menjadi air karena gempa. Selain itu, sifat tanah di wilayah utara itu juga akan merambatkan getaran gempa sehingga mengalami amplifikasi atau perbesaran guncangan terhadap gedung-gedung di atasnya.
Menurut Engkon, ini yang membuat Jakarta juga turut merasakan guncangan gempa Tasikmalaya yang pusatnya berjarak hampir dua ratus km dari Jakarta. Saat itu, wilayah Utara Jakarta mengalami amplifikasi gempa hingga 2 kali, sementara wilayah selatan Jakarta mengalami amplifikasi gempa sebesar 1,5 kali.
Oleh karenanya, ahli Gempa LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaya mengatakan bila gempa Tasik bermagnitudo lebih besar, misalnya lebih dari 8SR, maka gempa itu bisa memporakporandakan Jakarta. “Ini bisa mematikan, seperti kejadian gempa di Meksiko tahun 1985,” kata Danny. Saat itu, ia menjelaskan, sumber gempa berjarak lebih dari 300 km. Namun, dengan kekuatan gempa sebesar 8,1 SR, gempa itu meratakan kota Mexico City.
Badan survei geologi AS, USGS, menyebutkan, setidaknya 9.500 orang tewas, 30 ribu orang terluka, lebih dari 100 ribu orang menggelandang karena rumah mereka hancur, 412 bangunan tumbang dan 3.124 bangunan lainnya rusak di Mexico City, dengan jumlah kerugian mencapai US$ 3 – 4 miliar. 60 persen dari bangunan-bangunan di daerah lain seperti Ciudad Guzman, Jalisco juga musnah.
Dari catatan Prof Masyhur Irsyam, pakar teknik sipil ITB yang juga kepala tim revisi Peta Gempa Indonesia 2010, pusat gempa Meksiko terjadi di bawah garis pantai Pasifik Meksiko. Episentrumnya berjarak 380 km dari Mexico City.
Lalu kenapa jarak pusat gempa yang begitu jauh tetap bisa mengoyak bangunan-bangunan di Mexico City? Ternyata kota itu berdiri di atas endapan lempung vulkanik yang berusia kurang dari 2.500 tahun. Ini menyebabkan getaran gempa di permukaan tanah bisa mengalami amplifikasi antara 4-5 kali, dan amplifikasi gempa pada bangunan bisa mencapai 21 kali lipat dari getaran di batuan dasar.

0 komentar:

Posting Komentar